Akhirnya di rumah inilah istirahat terakhirmu.
Jika kau tahu betapa ku terngiang-ngiang pesanmu dimudik terakhirku beberapa waktu lalu “nduk bapakki sakit, nek rene jo mung tekan Yogjo utowo Klaten tok, ning mudik’o sering-sering, tilik’i bapakmu iki yo nduk”.
Masih hangat di telingaku sebenarnya, krn mmg mudik itu baru saja beberapa waktu berselang. Namun siapa yg bisa membaca bahwa itulah pertemuan terakhir kita.
Maafkan aku bapak. Sua kita mmg tak sesering komunikasi kita meskipun itu hanya melalui sebuah handphone.
Maafkan aku bapak. Bahkan disaat kau menuju ke tempat peristrahatan terakhirmu aku pun tak bisa menyertai langkah-langkah mereka yang ikut menghantarkanmu.
Sungguh “kehabisan tiket” adalah sebuah momok bagiku. Tapi inilah ketidakberdayaanku yg selalu berada di luar kemampuanku melawan kondisi nyata yg bernama “jarak jauh”. Aku akui aku selalu kalah dalam setiap suasana emergency dlm bentuk apapun. dari dulu.
meski do'aku seketika itu juga teruntukmu namun hadirku baru nyata setelah setengah hari penguburanmu, selang beberapa waktu setelah antrian para pelayat pulang menitipkan ucapan “turut belasungkawa atasmu” dan selang beberapa waktu sebelum para pelantun Yaasin hadir mengirimkan do’a & tahlil untukmu.
Tadi malam aku hadir di rumah ini, di tengah keluarga, anak & cucu-cucumu. Dan tadi pagi baru bisa kukunjungi rumahmu. Rumah terakhirmu. Berdua ibu, wanita yg sampai detik itu msh berkata “ayo nduk ndang cepet mulih, aku kok ra kuat sui-sui, kroso koyok nemoni bapak mung lagi turu”. Itulah pelajaran yg kudapat dari kalian, pagi tadi. Semoga ikatan itupun yg selalu kurasa sampai nanti. Sampai mati.
Selamat jalan bapak. Istirahatlah dengan tenang. Do’a kami menyertaimu.
*di tengah tahlilan malam ini
hingga 7 harianmu nanti